DEMOKRASI BUKAN AGAMA
Coretan Spidol – Relasi demokrasi dan Islam seakan tak pernah
habis dibahas. Di tengah tantangan ekslusifitas sebagian kelompok, di sisi
lain, pada prinsipnya demokrasi dihadapkan pada tantangan sifat
keterbukaannya bagi yang liyan. Pada saat yang sama, demokrasi
secara prinsipil dan substantif dipertentangkan secara teologis. Sederhananya,
demokrasi ditentang karena alasan ia bukan berasal dari Islam.
Bagi kelompok esktrimis demokrasi selalu dibenturkan antara agama. Bagi
kelompok ekstrimis, tidak ada yang melebihi dari agama itu sendiri. Menurut
mereka demokrasi adalah dien (agama). Benarkah hal tersebut?
Menurut kaum ekstrimis, bahwa demokrasi merupakan thogut, ia bertentangan
dengan Islam. Logikanya, karena demokrasi itu sebagai thogut, syirik, maka ia
bertentangan dengan Islam. Mereka menilai bahwa demokrasi merupakan ideologi
yang menyalahi Islam, karena demokrasi dibangun berdasarkan sistem perwakilan
dan kedaulatan rakyat. Bagi kelompok ekstrimis, kedaulatan itu hanya di
‘Tangan’ Allah.
Mereka berpendapat, “Rakyat dan wakil-wakilnya adalah tuhan dalam agama
demokrasi. Dalam agama demokrasi, bukan sekedar menyekutukan selain
Allah dalam hukum, tetapi hak dan wewenang membuat hukum dirampas secara
total dari Allah dan dilimpahkan kepada rakyat (atau wakilnya).”
Dengan alasan di atas, mereka menilai bahwa demokrasi merebut “wewenang”
Allah dalam membuat aturan untuk manusia. Demokrasi
sebagai dien dilandaskan pada beberapa ayat di antaranya, QS.
Al-Syura:10
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ
رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan apa yang kamu berselisihkan dalam memutuskannya (hukum), maka
hukumnya dikembalikanlah kepada Allah”
Bagaimana penafsiran terhadp ayat di atas? Al-Maraghi (w. 1946 M)
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan berselih di atas adalah dalam
persoalan agama. meski ayat ini bersifat a’m, ma maushul yang
menunjukkan apa saja, akan tetapi ia dikaitakan dengan persoalan agama.
Maksud dari fa Hukmuhu Ilallah adalah dikembalikan kepada Allah
untuk urusan akhirat, perkara siapa yang berimana dan kufur terhadap-Nya di
Yaumil Hisab.
Perdebatan di kalangan ulama terjadi dalam menginterpretasikan ayat di
atas. al-Razi setidaknya menghimpun bahwa perdebatan itu melahirkan dua
paradigma. Pertama bahwa hukum kembali kepada Allah, artinya dikembalikan
kepada nash-nash al-Quran, sedangkan kedua berpendapat bahwa ayat di atas
berbicara tentang metode pengambilan faktor penentu dalam hukum
Islam, Qiyas. (Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, 28,
hlm. 581)
Meski para ulama sepakat bahwa ayat di atas
merupakan qathi (pasti) al-Dalalah, akan tetapi ia tetap
bersifat multiinterpretasi. Di sisi lain, ayat ini oleh Ibnu ‘Asyur tidak
sama sekali merujuk tentang perbedaan pendapat para ulama dalam
masalah-masalah dasar-dasar agama, atau metode qiyas yang diperdebatkan.
Meski demikian kecendrungan Ibnu ‘Asyur mengkritik para pengguna metode qiyas
dalam pengambilan hukum Islam. Bagi Ibnu ‘Asyur ayat ini menjelaskan bahwa
orang-orang muslim akan diberikan kebaikan di akhirat kelak sesuai dengan
kebaikannya di dunia. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 21,
hlm. 481.) Metode qiyas sendiri merupakan salah satu metode berfikir
logis (legal reasoning in Islamic Law) yang diakui oleh para ulama.
Selain ayat di atas, ayat-ayat QS. Yusuf 40, QS. An-Nisa:59, al-Maidah:
49 juga mendelegitimasi bahwa demokrasi sama dengan agama. Menurut kalangan
ekstrimis bahwa demokrasi merupakan hukum yang dikembalikan kepada rakyat.
Apa yang menurut rakyat boleh maka itu boleh, sedangkan tidak boleh maka itu
haram. Hal ini berbeda dengan hukum Allah yang mana haram itu jelas dan halal
itu jelas.
Yang keliru jelas adalah model berfikir seperti berikut, yang selalu
mempertentangkan Islam dan demokrasi. Logika seperti ini jelas bersifat
oposisi biner, demokrasi bukan Islam, seperti terlihat dalam
tulisan Demokrasi adalah Dien NKRI. Tulisnya lebih jauh, karena
demokrasi adalah produk yunani, kafir dan seterusnya maka ia bukan Islam.
Pada prinsipnya pendapat di atas sangat jelas tidak berlandaskan argument
yang benar. benarkah Islam menentang demokrasi dan demokrasi
adalah agama? Secara esensi tidak ada pertentangan keduanya. Demokrasi
berasal dari dua kata demos kratos. Demos berarti rakyat dan kratos
adalah pemerintahan, artinya pemerintahan rakyat. Kaum ekstrimis berpendapat
bahwa undang-undang atau DPR/ MPR yang menjadi representasi perwakilan adalah
thogut-thogut. Kalangan ekstrimis juga menilai bahwa kedaulatan hanya di
tangan Allah. Kekeliruan pandangan ini sejatinya berangkat dari memposisikan
doktrin teologis agama dalam pembacaan atas Negara, Teokrasi.
Secara defenitif, demokrasi berarti pemerintahan yang kedaulatan berada
di tangan rakyat. Demokrasi di sisi lain sudah sesuai dengan spirit
musyawarah. Islam pun juga mengajarkan hal yang sama, Amruhum Syuro
Bainahum. Soal pemerintahan tidak melulu dalam permasalah agama, akan
tetapi masalah kehidupan sehari-hari. Untuk mengatur masalah kehidupan
sehari-hari diperlukan ahli di bidang nya masing-masing. Hal ini pernah
disabdakan oleh Nabi ketika permasalahan tamr (kurma), Antum ‘Alamu
bi Umuri Dunyakum.
Dalam Islam sendiri terdapat nilai-nilai universal seperti kesetaraan derajat manusia, dan keadilan yang memiliki terhadap kesamaan dengan demokrasi. Nilai-nilai seperti keadilan, persamaan (al-‘Adl wal al-Musawah) dan seterusnya yang juga merupakan bangunan demokrasi. Banyak para penulis menyebut ini adalah tanda dari kesesuaian (kompatibilitas) demokrasi terhadap Islam.
Sumber Artikel : https://bincangsyariah.com/kalam/demokrasi-bukan-agama/
Credit : bincangsyariah.com
|
Comments
Post a Comment